DUNIA PRIYAYI DALAM SASTRA JAWA TAHUN 1920-AN (Priyayi World in Javanese Literature in 1920s)

Herry Mardianto

Abstract


Dalam sastra Indonesia, diskurs narasi nasionalisme dan kebudayaan berpangkal dari polemik kebudayaan  antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan beberapa tokoh lain yang mempersoalkan sikap bangsa Indonesia dalam memasuki kebudayaan baru: pertentangan masyarakat feodal-kolonialisme dengan kapitalisme Barat. Dalam sastra Jawa, narasi nasionalisme dan kebudayaan bertolak dari perdebatan dua priyayi Jawa pada awal abad ke20, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetatmo Soerjokoesoemo yang dilakukan pada saat pembukaan Volksraad (Dewan Rakyat) pada awal tahun 1918. Diskurs tersebut setidaknya tergambar  lewat Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924) dan Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928), keduanya mengedepankan tema perlawanan terhadap tradisi masyarakat Jawa yang mengagung-agungkan dunia priyayi dan hegemoni kekuasaan: tradisi versus modernisasi. Kajian dilakukan dengan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan, analis teks untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dimanfaatkan guna memahami fenomena sosial yang ada di luar sastra. Metode sosiologi sastra yang melihat karya sastra secara deskriptif-dialektik diterapkan dalam penelitian ini guna mencapai tujuan mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi pola pikir masyarakat Jawa dan bagaimana hal tersebut tercermin dalam wacana naratif karya sastra Jawa.


In Indonesian literature, nationalism and cultural narration discourse came from the cultural polemic among Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, and some literary figures who discussed Indonesian attitude in entering new culture: opposition of colonial-feudal society and western capitalism. In Javanese literature, nationalism and culture narration started from the oppositional argumentation of two Javanese priyayi in the beginning of the 20th century, Tjipto Mangoenkoesoemo and Soatatmo Sorejokoesoemo in the opening of Volksraad (folk’s council) in early 1918. The discourse, at least, was reflected in Kirti Njunjung Drajat (Jasawidagda, 1924) dan Gawaning Wewatekan (Koesoemadigda, 1928). Both of them voiced oppositional struggle to Javanese social tradition which praises the priyayi world and authorship hegemony. The study was conducted using an approach that makes use of literary text as the material of study, text analysis to find out the structure in the way of understanding social phenomena beyond literature itself.  Literature sociology method which views literary descriptive-dialectically as applied in this research aims to describe influential factors to Javanese way of thinking and how it is reflected in the narrative discourse of Javanese literary works.

Keywords


priyayi; modernisasi; nasionalisme; kebudayaan; modernity; nasionalism; culture; ideology

Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.26499/wdsra.v1i1.49

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


height=  

WIDYASASTRA INDEXED BY: